EMOSI MENURUT AL-QUR’ÂN
Pendahuluan
Suatu hal niscaya dalam kehidupan manusia adalah
fakta tentang sikap dan perilaku sehari-hari yang mencerminkan perasaan
seperti rasa senang, sedih, marah, jengkel, muak, dan sebagainya. Tidak
jarang dijumpai seseorang yang wajahnya berubah menjadi merah padam (dalam
ungkapan al-Qur’ân, muswaddan), pucat pasih, atau berseri-seri (musfirah),
karena ada peristiwa emosional yang dialaminya saat itu. Hanya saja, ungkapan
yang sering digunakan oleh masyarakat sehari-hari untuk memaknai emosi sering
kali terbatas pada sikap dan perilaku marah saja. Padahal, cakupan emosi itu
amatlah luas, tidak hanya terbatas pada sikap dan perilaku marah. Orang yang
takjub saja, sebagaimana yang dialami istri Nabi Ibrahim ketika di usia
senjanya dikabari akan memperoleh anak (Q.S. Hûd [11]: 72), sekelompok wanita
terhormat berdecak kagum menyaksikan ketampanan Nabi Yusuf (Q.S. Yûsuf [12]:
30-32). Atau, orang-orang yang diidentifikasi sebagai al-bakkâûn,
yakni mereka yang mencucurkan air mata sedih karena tidak bisa ikut dalam
suatu perang membela Islam (Q.S. al-Tawbah [9]: 92). Sementara yang bersifat
eksplosif seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ketika marah kepada kaumnya
lalu melampiaskannya dengan membanting prasasti (al-alwâh) yang
ada di tangannya (Q.S. al-A‘râf [7]: 150). Pendek kata, emosi yang dialami
manusia cakupannya sangat luas, sehingga Daniel Goleman (1997:411)
menggambarkan bahwa kosakata yang kita miliki tak mampu menyebutkan secara
persis keseluruhan emosi yang kita rasakan. Namun, para ahli mencoba
mengklasifikasi emosi menjadi dua kelompok besar: emosi dasar (primer
emotion) dan emosi campuran (mixed emotion).
Jenis emosi yang telah disepakati oleh para ahli
sebagai emosi dasar adalah: emosi senang/bahagia (joy, الابتهاج),
marah (anger, الغضب), sedih (sadness, الحزن), takut (fear, الخوف), benci/jijik
(disgust, الاشمئزاز), dan heran/kaget (surprise, المفاجأة). Para ahli menyimpulkan bahwa keenam
emosi ini yang diidentifikasi dirasakan oleh semua manusia di dunia.
Emosi-emosi dasar tersebut adakalanya bercampur antara satu dan yang lain,
misalnya antara marah dan benci, heran dan takut, benci dan rindu, dan
sebagainya. Percampuran itu bisa terjadi sangat variatif sehingga sulit
dipilah dan diberi nama, persis percampuran tiga warna dasar (magenta, biru,
kuning) yang memungkinkan terciptanya nuansa warna tak berhingga.
Keterbangkitan emosi ditandai oleh adanya perubahan
faali (fisiologis) dan terekspresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku.
Perubahan faali di saat emosi oleh al-Qur’ân diindikasikan antara lain dalam
bentuk degup jantung (‘wajilat qulūbuhum’ – Q.S. al-Anfâl [8]: 2, Q.S.
al-Hajj [22]: 35), GSR (galvanic skin response) atau reaksi
kulit (‘taqsya‘irru minhu julûd …’ – Q.S. al-Zumar [39]: 23),
reaksi pupil mata (‘tasykhashu fîh al-abshâr’ – Q.S. Ibrâhîm [14]: 42;
Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 97), reaksi pernapasan (‘shadrahû dhayyiqan’ – Q.S.
al-An‘âm [6]: 125, Q.S. al-Hijr [15]: 97, Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 13
atau ungkapan seperti ‘balaghat al-qulûb al-hanâjir’ – Q.S.
al-Ahzâb [33]: 10). Sedangkan ekspresi yang dapat disaksikan antara
lain wajah berseri-seri bahagia (‘wujûhun yawma’idzin musfirah, dhâhikah
mustabsyirah’ – ‘Abasa [80]: 38-39), wajah hitam pekat atau merah padam (‘wajhuhû
muswaddâ’ – Q.S. al-Nahl [16]: 58; Q.S. al-Zumar [39]: 60; Q.S.
al-Zukhruf [43]: 17), pandangan tidak konsentrasi (‘zâghat al-abshâr’ – Q.S.
al-Ahzâb [33]: 10; Shâd [38]: 63; Q.S. al-Najm [53]: 17), menutup
telinga karena ketakutan (‘yaj’alûna ashâbi‘a-hum fî âdzâni-him min
al-shawâ‘iq hadzara al-mawt’ – Q.S. al-Baqarah [2]: 19), menggigit
ujung jemari (‘adhdhû ‘alaykum al-anâmila min al-ghayzh’ – Q.S. Âlu
‘Imrân [3]: 119), reaksi kinestetis dengan membolak-balik telapak tangan
karena kesal (‘yuqallibu kaffayh’ – Q.S. al-Kahf [18]: 42).
Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum
terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa emosi. Gambaran al-Qur’ân
tentang ekspresi wajah yang berseri-seri atau muram berdebu (Q.S. ‘Abasa
[80]: 38-40) atau ekspresi bagian-bagian dari wajah boleh jadi karena wajah
adalah cerminan jiwa manusia yang bersifat universal dan lintas kultural,
dikenali oleh berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama. Ia bersifat
bawaan (heredity) karena ternyata bayi yang terlahir buta tuli
sekalipun mampu melakukannya, meskipun kemudian diperkaya oleh berbagai
pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut Davidoff (1987:327):
“We saw that people everywhere communicate basic emotions with the same
facial expressions and find it easy to identify basic emotions from facial
expressions. We described how young babies,
including those born blind and deaf, use these same expressions to
communicate their feelings. The universality of basic facial expressions
suggests that they are programmed into human beings by heredity.” (Kita menyaksikan bahwa manusia di bagian dunia manapun
mengomunikasikan emosi dasar dengan ekspresi wajah yang sama, dan kita pun
mendapatkan bahwa suatu hal yang mudah untuk mengenali emosi dasar melalui
ekspresi wajah. Kita menggambarkan bagaimana seorang bayi, termasuk mereka
yang dilahirkan dalam keadaan buta dan tuli, menggunakan ekspresi yang sama
ini untuk mengomunikasikan perasaan mereka. Universalitas ekspresi wajah
dasar ini mengisyaratkan bahwa hal itu diprogramkan ke dalam diri manusia
secara turun-temurun).
Emosi Dasar dalam al-Qur’ân
Kosakata yang berdenotasi emosi tidak dijumpai
secara spesifik di dalam al-Qur’ân, tetapi bertebaran ayat yang berbicara
atau berkaitan dengan perilaku emosi yang ditampilkan manusia dalam berbagai
peristiwa kehidupan. Ungkapan al-Qur’ân tentang emosi digambarkan langsung
bersama peristiwa yang sedang terjadi. Berbagai peristiwa emosional
dijelaskan oleh al-Qur’ân meskipun topik utamanya (main topic) bukan
masalah emosi. Emosi yang muncul pada umumnya merupakan gambaran selintas
terkait dengan main topic yang sedang dijelaskan atau diceritakan,
sehingga mufasir pun kadang-kadang tidak tertarik untuk menjelaskan secara
rinci hal itu.
Berikut ini akan dijelaskan emosi-emosi dasar yang
diisyaratkan oleh al-Qur’ân dalam kaitannya dengan sejarah peradaban umat
manusia di masa lampau, sikap dan perilaku mereka yang terus berlangsung,
serta gambaran emosi manusia dalam kehidupan di akhirat, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (tak dikehendaki).
A.
Emosi Senang
Emosi senang umumnya didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang membuat kepuasan dalam hidup. “We define happiness as overall
satisfaction with life”. Perasaan senang (cinta, gembira, puas, bahagia)
adalah kondisi-kondisi yang senantiasa didambakan oleh setiap individu apa
pun latar belakangnya. Hal yang mungkin berbeda adalah persepsi terhadap
sesuatu yang dapat membuat orang senang. Sebagian menjadikan ukuran
kesenangan itu pada harta yang melimpah, kesehatan yang prima, jabatan yang
bergengsi, atau keluarga yang rukun dan sejahtera, sementara yang lain pada
hal-hal di luar itu. Oleh karena itu, objek yang dapat membuat orang senang
atau bahagia tidak bisa diukur sama untuk semua individu. Namun, secara umum
al-Qur’ân menyatakan bahwa manusia memiliki predisposisi senang kepada
wanita (lawan jenis), anak cucu, harta yang melimpah, kendaraan mewah, dan
kekayaan lainnya (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 14).
Ekspresi emosi senang dijumpai dalam beberapa ayat
al-Qur’ân yang dengan jelas mengungkapkan terjadinya perubahan-perubahan
pada wajah menjadi berseri-seri yang dapat diamati oleh orang lain yang
menyaksikannya. Ayat-ayat al-Qur’ân tersebut misalnya Q.S. al-Insân [76]: 11;
‘Abasa [80]: 38-39; al-Muthaffifîn [83]: 22-24; al-Insyiqâq [84]: 7-9. Q.S.
‘Abasa [80]: 38-39:
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ 0 ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan
gembira ria.” (Q.S. ‘Abasa [80]: 38-39)
Menurut al-Thabarî (1405 H), kata musfirah
dalam ayat tersebut berasal dari asfar, yaitu ungkapan dalam bahasa
Arab untuk menyebut wajah yang cantik (bersinar). Cahaya subuh juga disebut asfar
ketika mulai bersinar, bahkan setiap yang bersinar dikatakan musfir.
Wajah yang musfirah adalah wajah berseri-seri yang memancarkan sinar
kegembiraan karena mendapatkan suatu kenikmatan.
Ungkapan emosi senang di dalam al-Qur’ân sangat
beragam. Senang meraih kenikmatan dan terhindar dari kesulitan misalnya
dijumpai dalam Q.S. Hûd [11]: 10; al-Rûm [30]: 36; al-Syûrâ [42]: 48; Âlu
‘Imrân [3]: 170; Yûnus [10]: 58; Yûsuf [12]: 33-34. Senang terhadap lawan
jenis (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 14; al-Rûm [30]: 21; Yûsuf [12]: 30-32), senang
terhadap harta (al-Fajr [89]: 20; al-‘Âdiyât [100]: 8; al-Kahf [18]: 34;
al-Ra‘d [13]: 26), senang memberi atau menerima (al-Hasyr [59]: 9;
al-Naml [27]: 36; al-Tawbah [9]: 58-59; al-Insân [76]: 8-9; al-Nisâ’ [4]: 4).
Sementara senang terhadap hasil usaha (prestasi) dapat dilihat misalnya dalam
Q.S. al-Rûm [30]: 2-4; al-An‘âm [6]: 135; Âlu ‘Imrân [3]: 188; Ghâfir [40]:
83. Ada pula bentuk kesenangan yang menyimpang dari fitrah kemanusiaan, yaitu
jika seseorang senang terhadap kesulitan orang lain (Âlu ‘Imrân [3]: 120;
al-Tawbah [9]: 50). Jenis yang terakhir ini tentu harus dihindari karena
bertentangan dengan ajaran agama.
Kata fariha (gembira,
senang) yang disebutkan dalam beberapa ayat di atas merupakan gambaran
suasana hati ketika dapat merasakan kepuasan begitu mendapatkan apa yang
diinginkan. Demikian pendapat al-Baghawî (1407 H) yang menyatakan: “الفَرَحُ: لَذَّةٌ فِى القَلْبِ بِنَيْلِ المُشْتَهَى”. Objek yang menimbulkan emosi senang
bersifat sangat personal. Nabi Yusuf sangat senang ketika doanya terkabul
untuk masuk penjara sebagai usaha menghindari godaan para wanita yang
tertarik padanya (Q.S. Yûsuf [12]: 33-34).
Sedangkan Q.S. al-Hasyr [59]: 9 turun dalam
kasus Abu Thalhah (yang lain menyebut Tsâbit ibn Qays, atau Abû Nashr
Abd al-Rahîm) yang begitu berempati kepada tamunya ‘pengungsi’ dari
kaum Muhajirin. Ia sendiri kesulitan dalam hidupnya tetapi masih tetap
mengutamakan tamunya meski harus memberikan makanan yang tadinya untuk anak
balitanya. Walaupun ayat ini turun untuk apresiasi terhadap emosi senang yang
ditunjukkan seorang Ansar kepada Muhajirin, namun kondisi itu merata pada
hampir semua kaum Anshar. Faktor senang membantu tamu-tamu itu merupakan
gejala umum di masyarakat Madinah. Mereka memberi apa yang dibutuhkan oleh
tamu-tamunya meskipun sebenarnya mereka juga butuh, termasuk mereka yang
memiliki istri lebih dari satu dengan rela diberikan kepada tamu-tamu
Muhajirin.
Hal yang kontras terjadi adalah apa yang dijelaskan
dalam Q.S. al-Taubah [9]: 58-59. Ayat ini turun pada kasus Ibn Dzu al-Khuwaysharah
al-Tamimi (atau pada Abu al-Jawaz, atau Abu al-Jawth–ada yang menyebutnya,
munafik), ia memprotes keadilan Rasulullah ketika membagi sedekah dan harta
rampasan perang (ghanîmah, al-fay’) karena ia tidak mendapat bagian.
Orang-orang munafik ketika mendapat bagian mereka meluapkan kesenangan,
tetapi ketika tidak, serta-merta mereka menggerutu dan marah. Atau, ketika
mendapat banyak amat senang, tapi ketika sedikit mereka jengkel “إن أعطوا كثيرا فرحوا وإن أعطوا قليلا سخطوا”.
Q.S. al-Rûm [30]: 2-4 menggambarkan kekalahan dan
kemenangan dua kekuatan imperium di abad VII, Romawi Timur dan Persia (yang
mendapat simpati dari kaum musyrik Mekah). Kemenangan terhadap lawan
(tanding) merupakan prestasi. Sebuah prestasi, apakah diukir sendiri atau
oleh orang yang mendapat simpati dan dukungan kita, membawa kepuasan
tersendiri. Semakin susah prestasi itu diperoleh, semakin tinggi pula nilai
kepuasannya. Menurut McClelland pada diri manusia terdapat kebutuhan untuk
berprestasi yang dikenal dengan istilah n-Ach (need for
achievement).
Senyampang dengan itu, al-Qur’ân melarang manusia
melampiaskan emosi senangnya dengan berlebih-lebihan, cara-cara yang tak
lazim, atau akibat kesombongan dan maksiat (Q.S. al-Qashash [28]: 76; Ghâfir
[40]: 75-76; al-Hadîd [57]: 23). Larangan mengungkapkan emosi senang
yang terdapat pada 28:76 hendaklah dipahami sebagai emosi senang yang
berlebihan dan yang membawa pada kebanggaan terhadap diri sendiri sebagaimana
yang dilakukan oleh Qarun ibn Yushar ibn Qahits ibn Lawi. Karena ternyata
harta kekayaan dan pernik-pernik duniawi dapat membangkitkan emosi senang
berlebihan dan dapat menjauhkan manusia dari Allah. Menurut al-Baydhâwî
bahwa ketidaksukaan Allah kepada orang yang mengungkapkan kegembiraannya
(seperti dapat dibaca pada Q.S. al-Qashash [28]: 76) adalah jika dilakukan
secara berlebih-lebihan dan semata-mata dalam hal keduniawian yang menyebabkan
manusia lupa pada eksistensi Tuhan sebagai sumber kesenangan itu. Apalagi
jika ungkapan emosi senang itu terjadi karena kemaksiatan yang dilakukan,
sebagaimana dijelaskan Q.S. Ghâfir [40]: 75.
B.
Emosi Marah
Emosi marah adalah emosi yang paling dikenal dalam
percakapan sehari-hari, bahkan sering dianggap perilaku marah identik dengan
emosi. Tingkah laku yang menyertai emosi marah sangat beragam mulai dari
tindakan diam atau menarik diri (withdrawal) hingga tindakan agresif
yang dapat mencederai atau mengancam nyawa orang lain. Pemicunya juga sangat
beragam, dari hal-hal yang sangat sepele sampai pada pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia. Pada umumnya emosi marah pada manusia dikenali
dengan terjadinya perubahan pada raut muka (tegang, merah padam), nada suara
yang berat, anggota badan bergetar, atau sikap siap menyerang. Atau,
agresivitas itu tidak menggejala karena disembunyikan dengan alasan-alasan
tertentu.
Faktor penyebab keterbangkitan emosi marah ada yang
bersifat eksternal dan ada pula yang bersifat internal. Faktor eksternal
adalah stimuli yang datang dari luar diri kita, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam seperti cuaca, gangguan alam, atau yang lain. Sedangkan
faktor internal datang dari dalam diri manusia sendiri atau sering juga disebut
sebagai faktor personal. Orang yang tempramental sangat mudah tersinggung dan
terpancing untuk melampiaskan emosi marahnya ketimbang dengan orang
penyabar. Sikap dan tingkah laku marah dimiliki oleh semua makhluk, bahkan
Allah sebagai al-Khâliq dapat marah (murka). Allah marah kepada orang
yang membunuh manusia tanpa haq, musyrik, munafik, bersumpah
palsu, dan sebagainya.
Gejala-gejala emosi marah yang muncul dalam sikap
dan perilaku manusia yang direkam oleh al-Qur’ân dalam berbagai peristiwa, ekspresi,
dan tindakan. Salah satu di antaranya, Q.S. al-A‘râf [7]: 150:
وَلَمَّا
رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي
مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الأَلْوَاحَ وَأَخَذَ
بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ
اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ الأَعْدَاءَ
وَلاَ تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya
dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang
kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji
Tuhanmu?’ Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut)
kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: ‘Hai
anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir
mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira
melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang
zalim.”
Ekspresi emosi marah dalam penuturan al-Qur’ân
dijumpai dalam semua bentuk ekspresi. Pertama, ekspresi marah dengan
perubahan pada raut muka dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nahl [16]:
58-59; al-Zukhruf [43]: 7 (ketika orang-orang jahiliah mendapatkan bayi
perempuan). Kedua, ekspresi marah dengan kata-kata diungkapkan Q.S.
Thaha [20]: 86; al-Qalam [68]: 48; al-Anbiyâ’ [21]: 87-88 (peristiwa Nabi
Musa yang kesal kepada saudaranya, Harun; dan peristiwa Nabi Yunus yang
kesal kepada kaumnya lalu pergi menjauh dan kemudian ditelan ikan–kekesalan
berganda). Ketiga, ekspresi emosi dengan tindakan dapat dibaca pada
Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 119; al-A‘râf [7]: 150 (orang-orang kafir musyrik
menggigit jari-jemarinya karena marah yang bercampur benci kepada kaum
Muslimin; dan peristiwa Nabi Musa melempar prasasti/alwâh
ketika menjumpai kaumnya menyembah al-‘ijl). Keempat, ekspresi
marah dengan diam digambarkan misalnya oleh Q.S. Yûsuf [12]: 84-85; 12:77
(Nabi Ya’qub berpaling dari anak-anaknya yang bersekongkol ‘membunuh’ Yusuf;
dan Yusuf menahan marah atas fitnah saudara-saudaranya kepada dirinya).
Betapa banyak peristiwa emosi marah yang selalu kita
saksikan dalam kehidupan sehari-hari akibat dari tidak tercapainya sesuatu
yang diinginkan. Orang bisa berteriak, memaki, membentak, menendang,
menempeleng, menggebrak meja, membanting gelas, menggerutu, melotot, atau
tindakan lainnya hanya karena harapannya tak kesampaian. Rekaman peristiwa di
dalam al-Qur’ân telah mencatat aneka macam tingkah laku manusia ketika
berbagai keinginannya gagal tercapai. Ada yang memutarbalikkan fakta untuk
mencelakakan orang yang menjadi penghalang harapan-harapannya itu (Q.S. Yûsuf
[12]: 25-28). Ada yang mengajak perang tanding untuk menampilkan kehebatan
yang dimilikinya agar dapat disaksikan oleh khalayak (Q.S. Thaha [20]:
63-70). Ada pula yang berusaha mengusir orang yang menjadi perintang
keinginan-keinginan mereka dengan deportasi ke luar negeri mereka (Q.S.
al-Naml [27]: 54-56). Dan, aneka respons emosional yang muncul di saat
harapan tak kesampaian: menggerutu kalau hanya mendapat sedikit bagian zakat
(Q.S. al-Tawbah [9]: 58); kesal kalau dzikrullâh mendominasi
percakapan (Q.S. al-Zumar [39]: 45); jengkel yang melanda orang kafir ketika
tak mampu memperdayakan dan mengalahkan orang mukmin padahal jumlah personel
dan teknologi perang mereka lebih unggul (Q.S. al-Ahzâb [33]: 25).
Keterbangkitan (arousal) emosi marah
kadang-kadang bermula dari percakapan biasa, tawa canda yang kemudian
menyerempet ke harga diri, hingga provokasi yang disengaja untuk membangkitkan
emosi marah. Harga diri (self esteem), pembelaan pada simbol
identitas, dan perebutan teritori adalah hal yang paling sering memunculkan
emosi marah. Fir‘aun merasa kekuasaannya dilecehkan lalu memprovokasi
masyarakat untuk mengirimkan pemberaninya melawan Musa dan pengikutnya (Q.S.
al-Syu‘arâ’ [26]: 53-55).
Personifikasi juga terjadi dalam menggambarkan emosi
marah. (Personifikasi sering muncul karena gaya bahasa al-Qur’ân yang puitis,
meskipun ia bukan buku sastra. Bertanya pada negeri “…وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ”
[Q.S. Yûsuf [12]: 82], benda-benda angkasa termasuk planet-planet patuh
kepada Tuhannya “وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ” [Q.S. al-Insyiqâq [84]: 2,5], langit
dan bumi tidak menangisi mereka “…فَمَا بَكَتْ
عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ”
[Q.S. al-Dukhân [44]: 29], adalah contoh-contoh personifikasi al-Qur’ân yang
harus dipahami sesuai dengan konteksnya). Q.S. al-Mulk [67]: 6-8 dan
al-Furqân [25]: 12 menggambarkan tentang kegeraman neraka ketika dimasuki
para pendosa. Menurut Ibn Katsir, kemarahan neraka digambarkan hampir-hampir
memisahkan bagian demi bagian akibat amarah yang dahsyat kepada penghuninya.
C.
Emosi Sedih
Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya
manusia bergembira, adakalanya juga bersedih. Sedih karena gagal meraih
sukses, mendapat kesulitan, ditinggal orang yang dicintai, atau sebab yang
lain. Begitulah kehidupan terjadi silih berganti (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]:
140). Tertawa atau menangis sudah merupakan bawaan (naluri, gharîzah)
karunia dari Allah. Dari sejak lahir manusia sudah pandai menangis dan
tersenyum. Setelah mulai menapaki kehidupan orang belajar dari lingkungannya
kapan tempatnya tertawa dan kapan pula menangis. Q.S. al-Najm [53]: 43
menjelaskan:
وَأَنَّهُ
هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى
“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa
dan menangis.”
Kesedihan memang sesuatu yang tidak diharapkan,
tetapi senang atau tidak senang, pasti mampir juga dalam perjalanan hidup
manusia. Rasulullah saw. sendiri pernah mengalami kesedihan bertubi-tubi,
antara lain ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya dalam selang waktu
relatif singkat, sehingga tahun kejadian itu dikenal dalam sejarah sebagai âm
al-huzn (tahun kesedihan, tahun 619 H). Cobaan yang dialaminya
cukup berat sampai tiba saatnya mendapat kelapangan (al-insyirâh,
enlightenment, pencerahan). Kesedihan berganti dengan kebahagiaan,
beban berat terlewati, dan memang sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.
Sungguh! (Q.S. al-Insyirâh [94]: 1-8).
Pada umumnya, yang kita kenali dalam
ekspresi emosi sedih adalah tangis. Akan tetapi, tidak berarti
bahwa setiap orang yang menangis pasti bersedih, karena ternyata ada tangis
bahagia, tangis haru, atau bahkan ada tangis pura-pura seperti terjadi pada
kisah saudara-saudara Yusuf. Ekspresi lain adalah raut wajah yang
menggambarkan suasana hati ketika sedang bersedih: dingin, pucat, pandangan
lesu, tanpa senyum, tidak bergairah.
Beberapa ayat al-Qur’ân menjelaskan model-model
ekspresi emosi sedih yang diperankan oleh manusia. Pertama, ekspresi
emosi sedih dengan cucuran air mata yang memancarkan perasaan yang dialami
(Q.S. al-Tawbah [9]: 92); kedua, tangis yang dibuat-buat untuk memberi
kesan kesedihan atau sandiwara (Q.S. Yûsuf [12]: 15-16); ketiga,
ekspresi sedih dalam bentuk perilaku menarik diri (withdrawal, tawallâ)
disertai mata yang berkaca-kaca (Q.S. Yûsuf [12]: 84-86).
Pada umumnya, kesedihan muncul ketika seseorang
ditimpa kesulitan, kemalangan, atau kondisi-kondisi yang sangat tak
diharapkan lainnya. Penyebab kesedihan pasti akan mampir dalam setiap
kehidupan manusia, hanya tinggal bagaimana orang itu memaknai setiap
peristiwa yang dialaminya, lihat Q.S. Fushshilat [41]: 49; al-Ma‘ârij [70]:
19-22; Ghâfir [40]: 18; al-Zukhruf [43]: 17; Shâd [38]: 27; Âlu ‘Imrân [3]:
191. Orang mukmin sejati yang senantiasa memelihara ketakwaannya sangat pandai
memaknai setiap peristiwa yang terjadi sehingga mereka tidak mudah larut
dalam kesedihan atau keputusasaan (Q.S. al-An‘âm [6]: 48; Yûnus [10]: 62-63;
al-Ahqâf [46]: 13; al-Zumar [39]: 61; al-A‘râf [7]: 35; al-Baqarah
[2]: 122, 277). Kalaupun ada orang mukmin bersedih, hal itu karena ia tidak
mampu memaksimalkan kebaikan yang seharusnya bisa dilakukannya (Q.S.
al-Tawbah [9]: 92) seperti pada Kelompok Tujuh atau Kelompok al-Bakkâ’ûn
(orang-orang yang mencucurkan air mata sedih karena gagal berpartisipasi
dalam suatu perang jihad yang mereka rindukan).
D.
Emosi Takut
Emosi takut merupakan salah satu emosi yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, karena berperan untuk mempertahankan diri
dari berbagai masalah yang dapat mengancam kehidupan itu sendiri. Emosi takut
manusia dalam penuturan al-Qur’ân mempunyai cakupan yang luas. Bukan hanya
gambaran ketakutan di dunia ini seperti ketakutan pada kelaparan, kehilangan
jiwa dan harta, bencana alam, melainkan juga menyangkut ketakutan pada
kesengsaraan hidup di akhirat. Hal ini menjadi pembeda yang tegas antara
orang beriman yang percaya pada kehidupan akhirat dengan yang tidak.
Ketakutan pada orang beriman juga menjadi ajang promosi baginya untuk
mencapai suatu predikat tertentu dalam pandangan Allah. Firman Allah dalam
Q.S. al-Baqarah [2]: 155 (juga Q.S. al-Nahl [16]: 112)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Manfaat emosi takut menurut perspektif al-Qur’ân
tidak hanya untuk menjaga manusia dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya
di dunia ini, tetapi juga mendorong setiap mukmin untuk memelihara dirinya
dari azab Allah di akhirat. Kehidupan akhirat meskipun time response-nya
lama, tetapi pasti sebagaimana pastinya kematian itu sendiri. Sebenarnya,
pada diri manusia terdapat mekanisme pertahanan diri sehingga segala sesuatu
yang dapat mengancam dirinya akan dihindarkan atau dia yang menghindar.
Menghindar dapat berupa kesengajaan atau tindakan refleks yang bersifat
spontanitas terhadap ancaman yang bersifat sekonyong-konyong. Manusia akan
selalu melakukan adaptation (adaptasi, penyesuaian diri dengan
lingkungan) atau adjustment (penyesuaian lingkungan menurut yang
dikehendaki) terutama terhadap hal-hal yang berpotensi mengancam jiwa.
Perubahan tingkah laku karena emosi takut umumnya
diekspresikan dalam bentuk perubahan pada raut muka menjadi pucat pasih,
berteriak histeris (scream), loncat dan berlari, merunduk, menutup
telinga, menghindar, atau tindakan lain. Perubahan faali dapat terjadi berupa
denyut nadi meningkat, jantung berdebar-debar, pandangan mata kabur, keluar
keringat dingin, persendian terasa lemas. Ekspresi berupa tingkah laku
antara lain seperti menutup telinga ketika mendengar petir dan kilat yang
menyambar-nyambar (Q.S. al-Baqarah [2]: 19), mengungsi karena takut perang
(Q.S. al-Baqarah [2]: 243). Ketakutan yang muncul pada hubungan intrapersonal
biasanya terjadi ketika mengingat peristiwa masa lampau yang tersimpan di
dalam memori (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 14; al-Qashash [28]: 18; Âlu ‘Imrân [3]:
151; al-Rûm [30]: 28). Sedangkan emosi takut yang muncul pada hubungan dengan
orang lain (interpersonal) baik perorangan maupun kelompok (Q.S. Thaha [20]:
67-68; al-Syu‘arâ’ [26]: 21; Shâd [38]: 22; Thaha [20]: 40-46, 77; al-Nisâ’
[4]: 77,101; al-Anfâl [8]: 26; al-Mâ’idah [5]: 21-22; Yûnus [10]: 83).
Dari ayat-ayat itu tampak jelas adanya kesan
ketakutan terhadap manusia, dalam hal ini penguasa yang lalim, kelompok
tirani yang perkasa (qawm jabbârîn), dan serdadu-serdadu yang menjadi
mesin perang. Akan tetapi, kemudian Allah memberi peneguhan kepada
orang-orang beriman untuk berani melawan kebatilan siapapun pelakunya, dan
menegakkan yang haq sesudahnya. Perbedaan-perbedaan yang ada
pada manusia menyangkut ideologi, agama, etnis, dan perbedaan lainnya dapat menjadi
potensi konflik antarmanusia yang menimbulkan emosi takut, baik yang
terlibat langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, al-Qur’ân mereduksi
potensi konflik itu dengan mengajak semua pihak yang memiliki perbedaan tadi
untuk saling mengenal (Q.S. al-Hujurât [49]: 13), dan kemudian saling
menghormati. Kalaupun terjadi konflik antarorang perorang segera didamaikan
sebelum menjadi perang besar antarkelompok (Q.S. al-Hujurât [49]:
9-10).
Pencegahan dini sebagaimana dimaksud oleh al-Qur’ân
itu diperlukan karena ketika massa terlibat pada suatu masalah terkadang
sulit dikendalikan. Jiwa individu ketika berada di tengah-tengah massa lebur
menjadi jiwa massa. Gejala seperti ini dalam psikologi dikenal dengan istilah
deindividuation.. Dan ternyata berdasarkan berbagai eksperimen, deindividuation
ini potensial menjadi pemicu agresi. Dalam bahasa Feldman (1985:316), “deindividuation
is also a potential cause of aggression, and this fact has been shown in a
number of experiments.”
Emosi takut dalam kaitannya dengan hubungan
metapersonal digambarkan al-Qur’ân dalam dua term, yaitu: al-khawf (الخوف)
dan al-khasyyah (الخشية), selain term taqwâ yang sering diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan takut (yang sesungguhnya tidak pas). Sebagian ulama
tafsir membedakan kedua term itu (al-khawf dan al-khasyyah),
sementara yang lainnya menganggapnya sinonim saja. Jika dicermati ayat-ayat
yang menggunakan term al-khawf (seperti Q.S. Ibrâhîm [14]: 14; Q.S.
al-Sajdah [32]: 16) tampaknya lebih umum dan intensitas ketakutan itu lebih
ringan jika dibandingkan dengan pada term al-khasyyah (seperti Q.S.
Yâsin [36]: 11; al-Mulk [67]: 12). Takut kepada bencana alam maupun bencana
hari kiamat juga selalu menggunakan term al-khawf (seperti Q.S.
al-An‘âm [6]: 15; al-A‘râf [7]: 59; Yûnus [10]: 15; Hûd [11]: 3, 26, 84, 103;
al-Isrâ’ [17]: 57; al-Nûr [24]: 37, 50).
E.
Emosi Benci
Mekanisme pertahanan hidup manusia melahirkan
berbagai tingkah laku dan berbagai jenis emosi. Emosi benci, seperti halnya
emosi takut, dapat mengantar manusia untuk melestarikan hidupnya. Hanya
saja, emosi benci itu kadang-kadang tidak tepat sasaran jika terarah pada
hal-hal yang seharusnya tidak dibenci. Bahkan, menurut al-Qur’ân ada hal-hal
yang sering dibenci oleh manusia, tetapi ternyata sangat bermanfaat baginya.
Atau sebaliknya, disenangi tetapi membawa efek negatif baginya (Q.S.
al-Baqarah [2]: 216; al-Nisâ’ [4]: 19).
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang
itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Emosi kebencian dan ketidaksenangan manusia,
sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat al-Qur’ân, umumnya mengarah pada
kebencian terhadap kebenaran yang datang dari Allah SWT. berupa wahyu itu
sendiri, keharusan untuk taat, berjihad, berinfak, dan sebagainya. Kalau
dibandingkan dengan jumlah ayat yang menerangkan tentang emosi senang di
dalam al-Qur’ân, maka emosi benci jauh lebih kecil jumlahnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pendekatan al-Qur’ân sebenarnya lebih cenderung pada
pendekatan reward (ganjaran, targhîb) daripada punishment
(hukuman, ancaman, tarhîb).
Keberpihakan Allah terhadap kebaikan merupakan salah
satu cara memotivasi manusia untuk selalu dalam kebaikan dan membenci hal-hal
yang buruk dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Dalam banyak ayat,
Allah SWT. sering kali menutup sebuah ayat dengan menyatakan
ketidaksenangannya pada keburukan itu. Allah tidak senang pada: kerusakan dan
orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Baqarah [2]: 205; al-Maidah [5]:
64; al-Qashash [28]: 77), keterlaluan atau melampaui batas (Q.S. al-Baqarah
[2]: 190; al-Mâ’idah [5]: 87; al-A‘râf [7]: 31), berfoya-foya, mubazir, isrâf
(Q.S. al-An‘âm [6]: 141; al-A‘râf [7]: 31), suka berkhianat (Q.S. al-Nisâ’
[4]: 107; al-Anfâl [8]: 58; al-Hajj [22]: 38), sombong dan
membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 36; al-Nahl [16]: 23;
Luqmân [31]: 18; al-Hadîd [57]: 23), lupa daratan karena kelewat
gembira (al-Qashash [28]: 76), mengingkari kebenaran, kafir (Q.S. al-Baqarah
[2]: 276; Âlu ‘Imrân [3]: 32; al-Rûm [30]: 45), berbuat aniaya, zalim (Âlu
‘Imrân [3]: 57, 140; al-Syûrâ [42]: 40), suka berkata-kata kasar (al-Nisâ’
[4]: 148).
Ekspresi emosi benci yang digambarkan oleh al-Qur’ân
adakalanya bersifat spontanitas dan adakalanya pula tidak spontanitas.
Ekspresi yang tidak spontanitas itu sejatinya hanya tertunda karena mungkin
ada faktor takut atau hal lain jika diekspresikan pada saat itu juga. Emosi
benci yang spontan dan yang tidak spontan masing-masing dapat dilihat dalam
Q.S. al-Isrâ’ [17]: 46 dan Âlu ‘Imrân [3]: 119-120.
Kebenaran dari Allah digambarkan oleh al-Qur’ân
dalam banyak ayat sering kali mendapat penolakan dengan ekspresi kebencian
dan ketidaksenangan dari sebagian manusia. Selalu ada upaya sistematis dan
terus-menerus untuk menghancurkan kebenaran dari Allah itu. Dalam ungkapan
al-Qur’ân misalnya disebutkan ‘mereka ingin memadamkan cahaya dari Allah’,
dan sebagainya (Q.S. al-Tawbah [9]: 32-33; al-Shaff [61]: 8-9; Yûnus [10]:
82; al-Anfâl [8]: 8; al-Mu’minûn [23]: 70; al-Zukhruf [43]: 78; Muhammad
[47]: 9, 26, 28; al-Zumar [39]: 45). Demikian juga ketidaksenangan pada
perilaku kebaikan misalnya pada infak (Q.S. al-Tawbah [9]: 53-54), pada jihad
(Q.S. al-Anfâl [8]: 5; al-Baqarah [2]: 216; al-Tawbah [9]: 81-82), ketaatan
beribadah (Q.S. al-Ra‘d [13]: 15), keikhlasan dalam mengabdi (Q.S. Ghâfir
[40]: 14).
Emosi benci terhadap perilaku seseorang
kadang-kadang sulit dipisahkan dengan pelakunya. Ketika kita benci pada perilaku
menggunjing (ghîbah), maka kita pun tak senang pada orang yang suka ghîbah
itu. Atau sebaliknya, sering kali orang benci pada seseorang membawa pula
ketidaksenangan pada segala yang berhubungan dengan orang itu. Tertawanya
orang yang tak kita senangi terdengar pula tak enak di telinga. Ketidaksenangan
orang kafir pada ajaran Allah berdampak kebencian kepada pembawa risalah
(rasul). Hal ini yang dialami oleh para rasul sebagaimana banyak disinyalir
oleh al-Qur’ân, seperti dijelaskan Q.S. al-A‘râf [7]: 88 dalam kasus Nabi
Syu‘aib.
F.
Emosi Heran dan Kaget
Emosi heran dan kaget berada pada garis kontinum
yang sama. Pada peristiwa heran terdapat sangkaan di luar yang dibayangkan
terjadi, merasa ganjil ketika mengindera sesuatu, atau di luar kebiasaan.
Sedangkan pada peristiwa kaget emosi terjadi dengan sangat tiba-tiba,
terperanjat atau terkejut karena heran yang tiba-tiba. Intensitas emosi pada
peristiwa kaget lebih dalam dibandingkan dengan emosi pada peristiwa heran.
Akibatnya, perubahan fisiologis pada emosi kaget juga lebih tinggi, seperti
denyut jantung yang lebih cepat, pernafasan yang berat, dan sebagainya. Emosi
heran dan kaget diperlukan dalam konstelasi kehidupan manusia, karena hal itu
memberi peringatan dan pewaspadaan terhadap sesuatu yang dapat mengancam
kehidupan. Sesuatu yang tak lazim sekonyong-konyong muncul atau dijumpai di
sekitar kita perlu diwaspadai kalau-kalau hal itu berbahaya bagi kehidupan.
Di dalam al-Qur’ân, ekspresi heran dan kaget muncul
dalam sejumlah ayat sebagai fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan
manusia ketika berhadapan dengan objek di lingkungannya, baik lingkungan alam
maupun lingkungan personal (sosial). Bahasa yang sering digunakan al-Qur’ân
adalah takjub yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya
kurva normal, kehidupan ini selalu disertai oleh keganjilan, sebagian ganjil
negatif dan sebagian lagi ganjil positif. Orang yang buruk rupa dan memiliki multihandicapped
dapat dikategorikan sebagai ganjil negatif, sementara yang sangat cantik
atau ganteng dan nyaris tanpa cacat sebagai ganjil positif. Anak yang
terbelakang mental (idiot) biasanya dianggap sebagai anak luar biasa (ke
bawah), sementara yang jenius pun disebut anak luar biasa (ke atas).
Emosi kaget (heran, takjub) yang dialami oleh
manusia pada umumnya diekspresikan dengan berteriak spontan, terperanjat,
mata membelalak, merinding, merunduk, latah, meneteskan air mata, menertawai,
diam seribu bahasa, termangu, terpesona, dan sebagainya. Ekspresi heran dan
kaget ini juga telah digambarkan di dalam al-Qur’ân dengan sangat
spektakuler, misalnya Q.S. Yûsuf [12]: 31:
فَلَمَّا
سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً
وَءَاتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ
فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ
لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلاَّ مَلَكٌ كَرِيمٌ
“Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar
cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi
mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau
(untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): ‘Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari)
tangannya dan berkata: ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”
Di alam ini terkandung banyak hal atau peristiwa
misteri, tidak atau belum diketahui secara pasti mengapa hal itu terjadi.
Dengan curiosity (keingintahuan) yang ada pada manusia sedikit demi
sedikit misteri itu tersibak melalui pengalaman-pengalaman atau
penelitian-penelitian. Di kalangan sufi dikenal istilah tersingkapnya kasysyâf
(tirai selubung) yang menyelimuti hakikat sesuatu ketika pengalaman dan
latihan (riyâdhah, exercise) mencapai maqâm (tingkat) tertentu.
Apabila diklasifikasi berbagai peristiwa dalam
kehidupan ini, maka dapat dikatakan ada tiga pewilayahan: Pertama,
wilayah terang (putih), yaitu hal atau peristiwa yang telah dapat diterangkan
secara jelas tentangnya, tanpa ragu. Kedua, wilayah gelap (hitam),
yaitu yang masih misterius bagi manusia, belum dapat dijelaskan. Dan ketiga,
wilayah bayang-bayang (abu-abu), sesuatu yang belum sepenuhnya dapat
dijelaskan dengan memuaskan meskipun sebagian daripadanya telah mulai
tersibak. Contoh, bagi orang yang belum pernah melihat besi berani (magnet,
besi yang mengandung muatan listrik) sebelumnya akan terheran-heran ketika
menyaksikan magnet itu dapat menggaet potongan besi lain di dekatnya.
Baginya, magnet itu masih berada dalam wilayah hitam. Sementara para ahli
fisika dan yang telah mendapat penerangan tentang teori dan cara kerja magnet
itu berarti telah menjadikannya wilayah terang baginya.
Ayat-ayat yang menerangkan tentang adanya peristiwa
yang mengherankan (menakjubkan) terjadi di luar kebiasaan antara lain: emosi
heran berkenaan dengan malaikat (Q.S. Hûd [11]: 70), berkenaan dengan jin
(Q.S. al-Jinn [72]: 1), berkenaan dengan manusia (Q.S. Shâd [38]: 22),
berkenaan dengan hewan (Q.S. al-Kahf [18]: 63), berkenaan dengan
tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Wâqi‘ah [56]: 63-65, lihat lebih lanjut 68:17-33),
dan emosi heran berkenaan dengan sejarah masa lalu (misalnya Q.S. al-Kahf
[18]: 9; al-Baqarah [2]: 258).
Kemampuan dan kehebatan luar biasa yang dimiliki
seseorang dapat mengundang keheranan (takjub, ta‘ajjub) dari orang
lain. Kehebatan itu, sebagaimana dapat dibaca dari ayat-ayat al-Qur’ân,
misalnya para pembawa risalah Allah yang memiliki kemampuan lebih dibanding
dengan manusia pada umumnya (komunikasi melalui wahyu dengan Allah, mukjizat,
integritas pribadi yang prima). Kelebihan lain yang juga dapat membuat orang
heran adalah bentuk fisik, harta kekayaan, dan anak keturunan, jika hal itu
tidak lazim dari biasanya menurut ukuran normal. Q.S. Qâf [50]: 2 merujuk
pada ekspresi keheranan yang ditunjukkan orang yang tak percaya atau ragu
tentang kemungkinan seorang manusia menjadi pembawa risalah dari Allah.
Menurut al-Baydhâwî, ekspresi keheranan itu terjadi karena ketakpercayaan
pada manusia biasa dari jenis mereka dapat menerima wahyu. Yang mereka
harapkan adalah dari malaikat sebagaimana harapan orang-orang tua mereka
sebelumnya. Ekspresi heran terhadap kemampuan diri sendiri tergambar dalam
Q.S. Hûd [11]: 72-73 ketika istri Nabi Ibrahim yang sudah menopause diberitakan
akan melahirkan seorang anak. Kata ‘ajûz dalam bahasa Arab diartikan
sebagai nenek yang telah renta. Dalam kitab Tafsîr al-Baydhâwî
dijelaskan usia pasangan itu masing-masing sudah mencapai 90 atau 99 tahun
(istri) dan 100 atau 120 tahun (iii,246).
Pengendalian
Emosi
Kehidupan manusia selalu mengalami ritme yang
berbeda-beda, ada saatnya mendapatkan kenikmatan lalu merasa bahagia, tetapi
di saat yang lain mengalami musibah lalu bersedih. Aneka ekspresi yang muncul
dalam menanggapi berbagai situasi yang dialami itu sesungguhnya memperkaya
kehidupan itu sendiri. Tak terbayangkan dalam pikiran seandainya pada semua
yang dialami manusia muncul hanya satu jenis ekspresi emosi, misalnya bahagia
terus-menerus atau sedih sepanjang masa, tentu tak nikmat. Morgan et al.
(1986:310), memberi komentar menarik tentang hal ini sebagai berikut:
Life would
be dreary without such feelings. They add color and spice to living; they are
the sauce which adds pleasure and excitement to our lives. We anticipate our
parties and dates with pleasure; we remember with a warm glow the
satisfaction we got from getting a good grade; and we even recall with
amusement the bitter disappointments of childhood. On the other hand, when
our emotions are too intense and too easily aroused, they can easily get us
into trouble. They can warp our judgment, turn friends into enemies, and make
us as miserable as if we were sick with fever.
(Hidup akan menjadi kering tanpa adanya berbagai perasaan atau emosi.
Perasaan atau emosi itu menambah warna dan bumbu bagi kehidupan; ia merupakan
‘saus’ yang menambah nikmatnya kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan.
Kita menanti datangnya pesta dan kencan dengan senang hati; kita mengenang
dengan bangga pada kepuasan yang kita rasakan saat mendapatkan nilai yang
bagus; dan kita bahkan mengingat dengan penuh geli saat-saat mengecewakan
dari masa kecil kita. Di sisi lain, ketika emosi kita terlalu berlebih dan
terlalu mudah terpancing, ia dapat dengan mudah membawa kita ke dalam masalah.
Emosi dapat membengkokkan penilaian kita, mengubah teman jadi lawan, dan
menjadikan kita sengsara ketika kita terkena sakit demam).
Benar, emosi memang menjadi
bumbu kehidupan, tetapi ketika emosi memuncak tak terkendali dan atau
berlangsung dalam waktu lama, maka kemungkinan timbul masalah yang runyam
dalam kehidupan fisik maupun psikis. Emosi yang sangat dalam dapat
menyebabkan terganggunya mekanisme faali, sistem kimiawi tubuh, dan
memunculkan ketegangan-ketegangan yang merusak tatanan equilibrium (homeostatis)
yang senantiasa menjaga keseimbangan dalam diri manusia. Al-Qur’ân
mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab emosi yang dapat merusak
tatanan mekanisme fisik dan psikis itu, misalnya: ketakutan yang amat dahsyat
(fobia), kelaparan, kehilangan harta dan anggota keluarga secara tiba-tiba
(Q.S. al-Baqarah [2]: 155), terlampau gembira (euforia) karena memperoleh
harta melimpah (Q.S. al-Qashash [28]:76), berputus ada dari rahmat Allah
(Q.S. al-Zumar [39]: 53, 12: 87), dan sebagainya.
Ada beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian
terhadap akibat buruk dari emosi berlebihan, antara lain:
1. Tetap
konsisten (istiqâmah) dalam kebenaran (al-haqq).
Permohonan yang selalu kita sampaikan kepada Allah adalah tetap berada pada shirâth
al-mustaqîm (Q.S. al-Fâtihah [1]: 6), tidak mengikuti
langkah-langkah setan dan orang-orang yang telah disesatkannya, karena hal
itu selalu membawa kepada kemungkaran.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ
أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan
itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya
tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya
tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar
itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Lihat
pula Q.S. al-Baqarah [2]: 168, 208; al-An‘âm [6]: 142)
Satu hal paling sering membuat
manusia waswas, guncang, tidak dalam kondisi tenang, yaitu ketika orang itu
tidak konsisten dalam menjalani kebenaran, tetapi membiarkan dirinya
melanggar aturan (hukum) mengikuti langkah-langkah setan. Semakin berat akibat hukum yang ditimbulkan suatu perbuatan semakin
berat pula tingkat ketidaktenangannya. Pantas apabila Rasulullah saw. memberi
indikasi perbuatan dosa dengan adanya ketidaktenangan (waswas) dalam hati dan
takut diketahui orang lain:
البر حسن الخلق و الإثم ماحاك فى صدرك وكرهت أن يطلع
عليه الناس
“Kebaikan itu adalah
kesempurnaan akhlak, sedangkan dosa adalah apa yang membuat hatimu waswas
(bergejolak) dan kamu tak senang jika orang lain mengetahuinya.” (H.R. Muslim).
Konsistensi dalam menjalankan
kebenaran dari Allah baik dalam sikap maupun perbuatan akan mengeliminasi
kekhawatiran dan kesedihan dalam hidup, sebagaimana dapat dipahami dari
firman Allah dalam Q.S. al-Ahqâf [46]: 13 (lihat juga Fushshilat [41]:
30).
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita.”
2. Berpikir
positif dan bersikap realistis dalam menerima apa pun yang datang dari Allah
sebagai bagian dari perjalanan hidup. Allah menguji manusia dengan berbagai
ujian (balâ’) untuk mengetahui siapa yang mampu bersabar dan siapa
yang tidak, sebagaimana dipahami dari Q.S. al-Baqarah [2]: 155-156; Muhammad
[47]: 31, bahkan kehidupan dan kematian pun merupakan cobaan (Q.S. al-Mulk
[67]: 2). Berpikir positif dan bersikap realistis terhadap kenyataan hidup,
baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, ditandai oleh mekanisme
syukur-sabar. Banyak di antara manusia yang tidak mampu mengontrol dirinya
ketika menghadapi kenyataan hidup, baik yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan (Q.S. al-Ma‘ârij [70]: 20-21; Yûnus [10]: 12; al-Isrâ’ [17]: 83;
Fushshilat/41:49-51). Dalam Q.S. al-Ma‘ârij tersebut telah pula dijelaskan
siapa yang mampu mengendalikan (mengontrol) diri, antara lain karena telah
terlatih dalam menjalankan pengabdian yang menghasilkan sikap dan perilaku
syukur dan sabar. Orang yang bersikap dan berperilaku syukur jika mendapatkan
karunia tidak serta-merta lupa daratan, tetapi ia memaknai sebagai karunia
dari Allah yang juga menjadi ujian baginya. Q.S. al-Naml [27]: 40 mengisyaratkan
hal ini.
قَالَ
الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ
يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا
مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ
فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana
itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk
mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia”.
Sementara apabila mendapat
musibah ia bersikap dan berperilaku sabar dan memaknainya bahwa segala
sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]:
155-157). Sabar harus dalam kesempatan pertama (al-shadmah al-ûlâ,
benturan pertama).
3. Mengatasi
masalah agar tidak berkembang menjadi lebih buruk. Ada banyak hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi ketegangan emosional misalnya menarik napas
panjang, berteriak, katarsis. Agama mengajarkan untuk pergi berwudhu, dzikrullâh,
relaksasi, dan sebagainya. Dua terakhir paling mudah dilakukan:
a. Dzikrullâh
Mengingat Allah (dzikrullâh)
dalam kondisi emosi memuncak (arousal) termasuk dalam kategori
pengalihan emosi (replacement) kepada objek lain yang memungkinkan
meredam efek negatifnya. Meskipun model replacement ini banyak
ragamnya, dzikrullâh termasuk yang paling mudah dilakukan dan dalam
banyak hal sangat efektif, terutama mereka yang sudah terlatih untuk itu. Berkenaan
dengan hal ini, Allah menjelaskan di dalam Q.S. al-Ra‘d [13]: 28 sebagai
berikut:
الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
”(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
b. Relaksasi
Pada saat emosi memuncak sistem
kimiawi tubuh ikut berubah dan dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan fisik
dan psikis. Untuk mereduksi pengaruh-pengaruh buruk itu perlu segera
dikembalikan ke posisi equilibrium normal dengan cara relaksasi. Rasulullah
saw. memberi solusi ketika seseorang marah (mewakili emosi negatif) agar
segera mengubah posisi ketika itu.
إِذَا
غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ
وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Jika seseorang di antara kamu
marah dalam posisi berdiri, maka hendaklah ia duduk mudah-mudahan marahnya
hilang. Kalau belum reda juga, maka sebaiknya ia berbaring).
Kesimpulan
Emosi
manusia di dalam al-Qur’ân tersebar dalam berbagai surah dan ayat mengikuti
peristiwa-peristiwa fenomenal yang dihadapi manusia dalam berbagai persoalan
kehidupan. Ungkapan al-Qur’ân tentang emosi itu digambarkan dalam bentuk
ekspresi, perubahan fisiologis, tindakan dan tendensi tindakan, sampai pada
berbagai model pengendalian emosi, baik dalam bentuk katarsis, pengalihan (replacement),
relaksasi, dan selainnya. Ekspresi emosi yang paling sering dikemukakan oleh
al-Qur’ân adalah ekspresi wajah, persis dengan apa yang ditemukan dalam
penelitian-penelitian psikologi bahwa wajah merupakan cerminan jiwa manusia.
Psikologi menemukan bahwa ekspresi wajah ketika terjadi emosi pada manusia
bersifat universal dan lintas kultural, dikenali oleh berbagai etnis di dunia
dengan pola-pola yang sama ketika mereka senang, marah, benci, heran, takut,
atau sedang sedih. Dari ekspresi itulah manusia dapat memahami emosi yang
sedang dialami orang lain sehingga ia dapat mengambil suatu sikap atau
tindakan yang sesuai dan diperlukan dalam kaitannya dengan hubungan
interpersonal.
Emosi
senang dalam al-Qur’ân, seperti halnya dalam psikologi, dikategorikan
sebagai emosi positif karena didambakan oleh manusia terjadi pada dirinya.
Al-Qur’ân berbicara tentang emosi senang ini lebih banyak dan lebih variatif
dibandingkan dengan emosi-emosi lain. Al-Qur’ân menggunakan misalnya term
al-hubb, al-surûr, al-na‘mâ’, al-ridhâ, al-tabsyîr, al-farh,
untuk merujuk pada emosi senang. Bahkan, penggambaran emosi senang itu tidak
terbatas pada kegiatan atau peristiwa di dunia, tetapi juga gambaran emosi
senang di kehidupan yang eternal di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
emosi ini memang menjadi dambaan manusia.
Ekspresi
emosi marah dalam al-Qur’ân digambarkan sangat terinci, dari perubahan raut
muka, dalam bentuk verbal, tindakan-tindakan agresif, hingga marah yang
ditekan (represif) sebagaimana terjadi pada kasus Nabi Yusuf yang difitnah
pernah mencuri seperti yang dilakukan saudaranya, Bunyamin, yang ‘mencuri’
alat timbangan milik negara saat itu. Deskripsi yang demikian terinci itu
boleh jadi merupakan bentuk pengenalan yang lengkap agar manusia dapat
memahami ciri-cirinya, mereduksi ketika muncul keterbangkitan (arousal),
atau berusaha untuk menghindarinya sama sekali dan berlapang dada terhadap
sumber-sumber pemicu emosi marah melalui mekanisme pemberian maaf.
Dalam hal
emosi benci, al-Qur’ân lebih banyak mengemukakan perilaku manusia yang sering
kali membenci kebenaran, kebaikan, dan personal. Suatu hal yang menarik
bahwa al-Qur’ân memberi warning kepada manusia bahwa adakalanya kita
membenci sesuatu tetapi ternyata membawa kebaikan (manfaat) bagi kehidupan,
ataupun sebaliknya. Sedangkan emosi heran, takjub, kaget, merupakan sebuah
garis kontinum yang dialami dalam berbagai peristiwa tertentu berdasarkan
pada intensitas, meskipun frekuensi kemunculannya dalam ayat-ayat al-Qur’ân
tidak sesering dibandingkan dengan emosi-emosi yang lain.
Adapun
emosi takut manusia lebih banyak dijelaskan berkaitan dengan bencana,
ketakutan pada hubungan-hubungan: intrapersonal, interpersonal, dan metapersonal.
Sedangkan emosi sedih umumnya dalam bentuk imbauan untuk tidak gampang
bersedih. Ekspresi emosi sedih dalam beberapa ayat digambarkan dengan tangis
atau linangan air mata (tafîdhu min al-dam‘, ibyadhdhat ‘aynâh).
Al-Qur’ân selalu menggandengkan emosi cemas/khawatir (anxiety, al-khawf)
dengan emosi sedih (sadness, al-huzn) dan mengulangnya hingga
tiga belas kali. Dalam psikologi kedua term ini dimaknai hampir sama kecuali time
case-nya berbeda. Kecemasan terjadi menjelang suatu peristiwa yang tak
diinginkan, dan kesedihan terjadi sesudahnya.
Untuk mereduksi atau mengeliminasi efek-efek negatif
dari ketegangan-ketegangan yang mungkin muncul pada keterbangkitan emosi
diperlukan berbagai model yang dapat digunakan sebagai pengendali emosi. Wallâhu a‘lam.
|
http://km07010017.blogspot.com/2012/01/emosi-dalam-pesrfektif-al-quran.html
2 komentar:
sangat bermanfaat...
izin untuk share, sebagai bahan bacaan...
terimakasih :)
Terima kasih atas perbincngan mengenai emosi dalam al_Quran. Saya mohon izin untuk kongsi dengan pelajar saya. terima kasih
Posting Komentar